Selasa, 14 Januari 2025 13:53 WIB
18
|-
Karya: Nabila Pasya
Hari ini kulangitkan doa ku di sela sela subuh yang dingin. Kulangkahkan kaki secara bergantian, kaki kanan dan kiriku melangkah dengan penuh keyakinan bahwa hari ini bukanlah hari kemarin, di mana kegagalan lagi dan lagi menerpa diriku.
Tepat Empat Puluh Tujuh tahun hari ini, usia yang sudah terbilang tidak muda lagi memaksaku untuk mencari kesempatan di hantaran waktu yang kurasa sulit untuk berjalan sedikit lebih lambat dari siput di trotoar jalan. Banyak usaha dan tenaga yang terbuang sia-sia. Entah waktu atau takdir yang salah? Entahlah, semua itu rasanya terlalu sulit untuk dipahami dan diartikan.
Kupahat dengan teliti dan rapi kayu jati yang kemarin diambil dari hutan belakang desa dengan teliti dan rapi. Memahat kayu dari hutan memang bukan lagi hal asing bagiku karena memang orang-orang desa mengenalku sebagai seorang Pemahat Jawa di desa ini sejak kecil.
Hari-hari kulalui dengan banyak hal yang membuat ragu untuk menjalani usaha ini. Terlebih saat ini usaha yang kujalani tak juga berkembang dan tak kunjung memperbaiki keadaan ekonomiku yang buruk. Pandangan orang-orang desa padaku pun seakan berkata bahwa aku adalah orang gagal yang tak layak untuk bahagia.
Namun, semua itu semakin kurasakan ketika melihat teman sebaya yang kebanyakan sudah menggendong bayi mungil dan lucu bersama istri tercinta dengan ekonomi yang telah memadai. Hingga terlintas di pikiranku,
“Apakah aku tidak sepantas itu, ya Tuhan, untuk merasakan bahagia?”
Setelah berbagai pertimbangan dan keraguan akan usaha yang kujalani beberapa tahun ini, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan demi memperbaiki keuangan di rumah dengan kondisi ibu yang telah sakit-sakitan.
“Bu, besok tolong restui Reno ya, Bu, untuk mengubah takdir kita,” ucapku pada ibu di atas tempat tidur beralaskan kayu itu.
“Ndok, doa dan restu selalu Ibu panjatkan untukmu. Apa pun keputusanmu, Ibu dukung selama tak melenceng dari nilai-nilai agama, Ndok,” jawab ibu yang membuatku sedikit lega untuk memulai hal baru yang pastinya memuat banyak tantangan.
Satu persatu tempat kerja kudatangi, namun tak kunjung mendapatkan kesempatan kerja yang kucari. Mungkin karena umurku sudah kian menua, katanya. Raga dan batin pun sudah tak sanggup lagi, rasanya seperti berjalan tertatih-tatih di atas lantai berduri.
Putus asa menimpaku. Entah arah dan tujuan seperti apa lagi yang harus diikuti. Cibiran tetangga pun semakin menusuk hati setiap harinya. Banyak kata yang menjatuhkan semangat hidupku. Entah itu ‘anak durhaka’ karena tidak bisa memberikan ibuku kehidupan yang layak atau ‘si pemahat miskin’ karena kondisi ekonomiku.
Bulan demi bulan berganti mengikuti rotasi matahari. Takdir tak kunjung berpihak padaku. Waktu yang terasa semakin cepat berganti tak juga membuat semangatku tumbuh kembali. Memutih sudah rambut yang tadinya hitam pekat di atas kepalaku.
Di sela-sela lamunan, terlintas satu hal di dalam benakku, yaitu kata-kata almarhum Bapak saat aku kecil, “Kesuksesan itu tidak diukur dari materi, Ndok, tidak juga diukur dari umur yang terus saja berganti tiap tahunnya. Tapi kesuksesan itu diukur dari seberapa ikhlas kamu menjalani jalanmu sendiri.”
Tertegun seketika, kucerna lagi kata-kata itu satu per satu dengan baik. Apa yang almarhum Bapak katakan itu benar. Aku hanya memikirkan cibiran tetangga dan takdir orang lain yang terlihat bahagia tanpa memikirkan diriku yang mengejar takdir seperti harapan mereka, padahal belum tentu menjamin kebahagiaanku.
Tak menunggu waktu lama, kucoba lagi memahat sebatang kayu sisa beberapa bulan lalu. Namun kali ini berbeda. Aku lebih ikhlas memberi pahatan di setiap sisi kayu itu. Tak ada yang berubah, hanya saja aku merasa lebih lega ketika menjalaninya.
Waktu demi waktu kujalani sambil berdoa memohon untuk tetap ikhlas pada apa pun yang ada dalam hidupku. “Ya Tuhan, tolong beri aku keyakinan dan keikhlasan untuk setiap takdir yang Engkau siapkan.”
Pada satu kesempatan yang tak kuduga, ternyata kali ini memang waktuku. Direktur perusahaan Jepang yang melakukan kunjungan ke desa melihat hasil pahatan meja karyaku yang hampir setengah jadi di samping balai desa. Entah apa yang membuatnya tertarik dengan hasil pahatanku yang terlihat biasa saja.
“Meja yang di samping balai desa itu hasil pahatamu ya?” tanya direktur itu saat menemuiku di rumah.
“Iya, Pak. Ada apa, ya?” Sebenarnya bingung kurasa saat itu, apa maksud orang asing di hadapanku.
“Begini, saya tertarik dengan hasil pahatamu. Bagaimana jika perusahaan saya mempromosikan karya pahatanmu ini?” jelasnya dengan penuh semangat.
Tak berpikir panjang, ini merupakan kesempatan emas untuk orang sepertiku. Sangat disayangkan jika tawaran Pak Direktur ini kusia-siakan.
“Iya, Pak, saya sangat bersedia dengan tawaran Bapak,” jawabku dengan penuh sukacita.
Lambat laun, usaha yang awalnya kuragukan kini sudah mulai berkembang. Banyak pekerja dari desa sekitar ikut bekerja di tempat pahatku. Ekonomi yang awalnya buruk kini sudah mulai memadai. Bahkan banyak investor dari luar desa mengajakku bekerja sama dengan usaha ini.
Ini merupakan suatu pembuktianku untuk membungkam mulut-mulut dan omongan tetangga yang dulu merendahkanku. Ternyata umur yang terbilang sudah tua tak menjadi penghalang untuk menuju kebahagiaan dengan caraku sendiri. Porsiku tetap porsiku, tak sama dengan porsi orang di sekitarku.
Meski kadang merasa semua tak adil, ternyata itu juga proses untuk melihat keindahanku sendiri. Kebahagiaan tak berpatok pada usia, tak berpatok pada kata, tak juga berpatok pada materi, melainkan pada seberapa jauh kita menganggap bahwa diri kita berharga dan pantas untuk mendapatkannya.
Hidup itu seperti senja. Seperti senja yang bukan siang dan bukan malam. Seperti senja yang indah dengan masanya sendiri. Seperti senja yang selalu ditunggu keberadaannya, meski terdapat pelangi yang tak kalah indah dan berwarna. Dan seperti senja pula yang tahu akan tenggelam dalam gelapnya malam, namun tetap menyuguhkan keindahannya.
Penulis adalah siswa SMA Negeri 1 Toboali, Bangka Selatan